Ruang Tunggu Pagi

www.nytimes.com


Kaki-kaki murung gemetar di ruang tunggu pagi
Menjejakkan debu-debu rindu menghempas malam tadi
Hanya mampir sejenak, lalu pulang menguap bersama kadung perawan suci
Kembalilah nak, udara takkan lagi ramah membelai jantung ringkih punyamu

Kuda-kuda terikat bersama pedati mati
Meringkik liar, mencari betina paling birahi
Terhalang kawat-kawat yang melarang persetubuhan cawan suci

Namun tak ada kata mundur dalam dirinya, berkatalah si kuda dengan ringkikan lancang
Ia tetap berlari, meski darah terus mengejar langkahnya

Pagi tak kembali, siang tak menemani
Bukanlah jaminan menuju seberang tanpa jurang yang mencium kening malaikat kematian
Biarkan aku yang tak mau tahu bagaimana raut mentari di hari senin yang rahasia

Mega, bayu, hiburlah kawanmu yang tiba-tiba gelisah menunggu purnama yang tak pernah lewat menyapanya
Dan ku tak pernah mengerti apa yang terjadi di balik lazuardi
Suasana senang, sedih, atau berkabung ?

Siapapun disini, kemarilah!
Seretlah jasad ini ke sudut permai bumi, biar jiwaku kembali utuh tanpa celah
Biar kata yang tak pernah disuarakan ini terpajang di tembok pembatas maya dan nyata

Bawakan aku obor!
Bakarlah rumahmu yang penuh lacur dunia, lalu bangun kembali dengan fondasi cahaya

Saksikanlah kemarahan yang menjadi penggerak dunia!
Patung yang mengira dirinya sebagai pengendali;
dirinya dikendalikan oleh benang yang melilit tangan dan kaki
Kita semua kosong tanpa isi!




Komentar

Postingan Populer