Impian Dikala Senggang
05:33pm, Sen 12-01-2015
Impian Dikala Senggang
Dikala kupu-kupu bergantung di bibir pohon.
(Disaat) semuanya menjadi mungkin.
Aku ingin berbicara, tanpa kata, tanpa suara.
Hanya kau dan aku, membisu dalam isyarat-isyarat cinta.
Aku ingin merengkuh dirimu dalam diriku.
Memelukmu sampai mati.
Memelukmu hingga tulangku rapuh di dalam tanah.
Karena aku tahu, cinta adalah sebuah keniscayaan.
Kata-kata ini (mungkin) hanya sebuah utopia.
Menjadi gula-gula pemanis kalbu, pengindah rasa.
Namun aku pun masih ingin menikmatinya.
Karena toh aku terlahir sebagai seorang satir, yang rajin merangkai mimpi indah dikala sepi menghadang.
Aku juga sadar, aku juga terlahir seperti ini
Biarkan aku tertidur sejenak dalam impian yang kubuat sendiri.
Karena kau tahu, hidup ini (mungkin) sebuah paradoks.
Di satu sisi, aku dijejalkan dengan impian manis di masa depan.
Namun aku sadar, aku dihadapkan dengan keadaan getir, lebih dari sekadar perjuangan di kala revolusi
Aku bukanlah martir, pengadil, murid, bahkan siapapun.
Dan aku kembali sadar, aku hanyalah seorang satir.
Karena aku adalah semuanya, tanpa batas, tanpa wujud yang jelas.
Aku ingin begini, merdeka menapaki jalan yang kubuat sendiri.
Impian Dikala Senggang
Dikala kupu-kupu bergantung di bibir pohon.
(Disaat) semuanya menjadi mungkin.
Aku ingin berbicara, tanpa kata, tanpa suara.
Hanya kau dan aku, membisu dalam isyarat-isyarat cinta.
Aku ingin merengkuh dirimu dalam diriku.
Memelukmu sampai mati.
Memelukmu hingga tulangku rapuh di dalam tanah.
Karena aku tahu, cinta adalah sebuah keniscayaan.
Kata-kata ini (mungkin) hanya sebuah utopia.
Menjadi gula-gula pemanis kalbu, pengindah rasa.
Namun aku pun masih ingin menikmatinya.
Karena toh aku terlahir sebagai seorang satir, yang rajin merangkai mimpi indah dikala sepi menghadang.
Aku juga sadar, aku juga terlahir seperti ini
Biarkan aku tertidur sejenak dalam impian yang kubuat sendiri.
Karena kau tahu, hidup ini (mungkin) sebuah paradoks.
Di satu sisi, aku dijejalkan dengan impian manis di masa depan.
Namun aku sadar, aku dihadapkan dengan keadaan getir, lebih dari sekadar perjuangan di kala revolusi
Aku bukanlah martir, pengadil, murid, bahkan siapapun.
Dan aku kembali sadar, aku hanyalah seorang satir.
Karena aku adalah semuanya, tanpa batas, tanpa wujud yang jelas.
Aku ingin begini, merdeka menapaki jalan yang kubuat sendiri.
Komentar
Posting Komentar